Rabu, 16 Agustus 2017

MALAM TIRAKATAN 17-an, MALAM TERAKHIR DI SURABAYA

edisi : 20th di Jogja

Bila ku ingat saat itu, tanggal 16 Agustus 1997 adalah malam terakhirku di kota Surabaya sebelum pindah / merantau / hijrah ke kota Yogakarta. Selepas sholat Isya' seperti malam tahun-tahun sebelumnya, dikampungku selalu diadakan malam tirakatan dalam rangkah memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Acara di adakan di sepanjang gang kampung dengan beralaskan tikar. Acara dimulai dengan sambutan ketua RT dan ditutup dengan doa, yang dipimpin oleh seorang modin / pemuka agama dan diakhiri dengan makan bersama dengan cara tukar menukar makanan yang telah dibawa oleh masing-masing warga. 

Selain tirakatan, Ada yang aku ingat tentang peristiwa besar dalam kehidupanku malam itu, yaitu tentang 'alasan kepindahanku ke Jogja' paska terbitnya surat tugas dari perusahaan untuk bertugas di posisi baru di cabang baru. Selepas sholat Maghrib dari mushola yang jaraknya sangat dekat dengan rumah orang tuaku. Untuk terakhirnya aku pamitan sekaligus meminta doa restu Ibuku, orang tua satu-satunya yang masih hidup, sedangkan ayahku sudah tiga tahun sebelumnya dipanggil oleh Allah SWT. Saat aku berpamitan, terpancar rasa berat dari raut wajah Ibuku, bagaimana tidak, saat itu ayahku telah meninggal dan kebutuhan sehari-hari ditopang pensiunan ayahku yang seorang purnawirawan TNI AL berpangkat PELTU, sedangkan ke dua kakakku, masih berproses membina rumah tangga yang relatif baru sehingga harus banting tulang mencari ridho ilahi untuk menghidupi keluarganya. Praktis ( syukur alhamdulillah ) aku harus mengambil posisi sebagai penyangga ekonomi keluarga membantu setidaknya membiayai sekolah adik-adikku.

Saat itu Aku sampaikan kepada ibuku, bahwa kepindahanku / merantau / hijrah ke Jogja ini Aku niatkan, yang pertama adalah berhijrah, ( maaf ) rasulullah pun berhijrah dengan berjuang dan berkorban untuk 'sesuatu' yang lebih baik. Belum lagi ( maaf ) kultur budaya ( tidak semua ) masyarakat Surabaya yang relatif lebih keras dan lain-lain itu membuatku kurang simpatik. Yang kedua adalah menjalin silaturahmi dengan keluarga almarhum Bapakku, kebetulan Almarhum Bapakku bersal dari daerah Kuningan Jawa Barat dan secara geografis Jogja berada di tengah tengah tengah antara Surabaya dan daerah Kuningan Jawa Barat, jadi aku harus mengambil posisi tengah-tengah yang bisa menjadi penghubung / wakil keduanya. Apalagi jika disambungkan dengan HR. Abu Dawud & Ibnu Majah, yg di sahihkan oleh Ibnu Hibban, " Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah 'alaihi wa sallam. Ketika itu ada datang seseorang dari Bani salimah, ia berkata, " Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbhakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, " Iya masih tetap ada bentuk berbhakti pada keduanya, ( bentuknya adalah ) mendoakan keduanya, memeinta ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim ( kekerabatan ) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya."

Untuk lebih meyakinkan Ibuku, aku juga menambahi argumentasiku dengan berkata, " Maaf Ibu, lambat atau cepat kita pasti akan berpisah, dan kematian adalah yang pasti akan memisahkan kita, untuk itu anakmu ini mohon doa restunya". Saat itu ibu hanya menjawab dengan menganggukkan kepala sebagai tanda ( insyallah ) restu beliau. Aku menghela nafas legas, kemudian ibuku berpesan kepadaku, " Jangan lupa selalu bersyukur, banyak bersabar, dan jangan tinggalkan sholat / berdoa. Hidup jangan dibuat susah, kalau kamu susah, jangan terlalu dipikir, makan saja yang banyak,". kalimat terakhir itu membuatku geli, ternyata Ibuku juga bisa ngelawak. Ha ha ha ....

Tak terasa terdengar suara adzan Isya', bersamaan dengan itu, ketiga adikku perempuan yang kembar, yang saat itu masih berumur 9 tahun atau kelas 3 SD datang menghampiriku sambil berkata, " Niku sinten mas?, mirip kale Nunung Srimulat!." sambil menunjuk lembaran phas photo seorang wanita ukuran 20 R yang tergeletak diatas meja tamu tempat aku dan ibuku berbicara. " Oo.. itu 'teman'nya mas dadang", " Salam nggih?" kata semua adikku kompak sambil ngeloyor pergi cekikik-an. Melihat itu, Ibuku sambil mencolek tanganku sambil menunjuk ke photo itu juga ikut bertanya dengan penasaran, " Iku terusanne yok opo?", 
" Begini Buk, selain hal-hal tadi, dalam mengawali hidup baru saya, maka saya harus menata sejak awal khususnya hubungan saya dengan Dia, Saya sudah memberanikan diri untuk mengatakan 'suka', namun dia 'menolak' dan hanya mengajak 'berteman' saja, itu tidak masalah, lumrah!, semua sudah jelas dan insyaallah lebih 'terang benderang' setidaknya dalam mengawali hidup di Jogja tidak terjadi lagi kesalahan yang sama seperti saat di Surabaya". Mendengar jawaban itu, Ibuku hanya tersenyum. Ibuku menanyakan hal ini karena beliau pernah saya 'curhati' tentang seorang wanita yang secara terang-terangan menyatakan 'suka' padaku namun dengan berat hati aku 'menolak', hingga akhirnya ia kecewa dan aku tidak mau hal itu terjadi padanya -- orang yang mirip Nunung Srimulat kata adikku--.



Note :

Untuk adikku kembar, maaf ya dik 'salamnya' tidak pernah tersampaikan, maafkan masmu.... hik hik pingin nangis!.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar